
Kinerja emiten minyak kelapa sawit mentah alias crude palm oil (CPO) masih ngos-ngosan. Tak hanya terdampak negatif dari fluktuasi harga jual dan sejumlah aturan pemerintah, emiten CPO juga terkena haircut nilai saham yang cukup tinggi. Asal tahu saja, haircut adalah pemangkasan saham untuk perhitungan agunan dan Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD) anggota kliring.
Haircut merupakan persentase tertentu dari suatu saham yang ditetapkan oleh PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) sebagai pengurang nilai pasar wajar saham. Dalam menetapkan nilai haircut, KPEI dibantu dengan Komite Haircut sebagai salah satu organ perusahaan yang turut menetapkan kriteria dan menentukan besarannya.
PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) mengaku masih akan terus mengikuti kebijakan dari otoritas terkait nilai haircut saham. “Pada saat ini kami terus mengikuti semua kebijakan di bursa, termasuk haircut value saham yang ditetapkan KPEI,” ujar Sekretaris Perusahaan TAPG Joni Tjeng kepada Kontan.co.id, Selasa (22/10).
Joni mengungkapkan, TAPG telah memiliki kerangka bisnis berkelanjutan yang dibagi menjadi tiga fokus utama, yaitu people, planet, dan prosperity. Hal ini dilakukan sebagai strategi untuk menangkal isu negatif industri sawit. “Masing-masing aspek tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh beragam inisiatif dan upaya untuk meminimalisasi dampak negatif dan mengoptimalkan dampak positif,” ungkapnya.
Sebagai kontribusi TAPG pada dampak perubahan iklim, Triputra Agro juga telah meluncurkan New Journey of TAPG Sustainability. “Ini adalah sebuah rumusan kebijakan berkelanjutan terbaru sebagai komitmennya untuk menjadi green company yang memiliki kontribusi pada lingkungan, sosial, dan ekonomi,” papar Joni.
Founder Stocknow.id Hendra Wardana mengatakan, saham-saham emiten CPO di bursa saat ini mengalami tekanan terkait jaminan margin dari problem nilai haircut mereka. Nilai agunan saham para emiten CPO telah dipangkas oleh perbankan dan lembaga keuangan, karena volatilitas harga CPO serta meningkatnya risiko lingkungan dan sosial yang melekat pada sektor ini. “Penurunan nilai agunan tersebut membuat perusahaan sawit sulit menggunakan saham mereka sebagai jaminan untuk memperoleh pembiayaan, yang berujung pada keterbatasan likuiditas,” ujarnya kepada Kontan, (22/10).
Kondisi ini kemungkinan juga dapat menjadi alasan mengapa rencana initial public offering (IPO) perusahaan BUMN Sawit, PalmCo, masih mengalami penundaan. “Investor dan lembaga keuangan menjadi lebih berhati-hati dalam menilai risiko perusahaan sawit di tengah tantangan tersebut,” ungkapnya.
Di tengah kondisi tersebut, beberapa saham emiten CPO seperti PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP), PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), dan PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS) masih mencatat kenaikan harga saham dalam sebulan terakhir. Melansir RTI, kinerja saham LSIP naik 22,06% dalam sebulan. Lalu, saham AALI naik 2,6% dan SSMS naik 11% dalam sebulan terakhir. “Hal tersebut seiring optimisme investor terhadap kenaikan harga CPO global,” tuturnya.