Selain PBV , indikator valuasi yang sering digunakan investor pada umumnya ialah PER , rasio harga saham terhadap EPS perusahaan dalam satu tahun. EPS sendiri adalah earning per share atau laba bersih perlembar saham. Rumus untuk mencari EPS adalah laba bersih perusahaan ( Net Income ) di bagi dengan jumlah saham yang beredar di pasar.

Cara mengetahui jumlah saham yang beredar bisa cek di laporan keuangan :

Cara melihat laba bersih perusahaan pada laporan keuangan :

Sekarang kita sudah mengetahui bagaimana caranya melihat saham yang beredar di pasar dan cara melihat net income perusahaan.

Contoh : Perusahaan A menghasilkan laba bersih sebesar 1,5 triliun sepanjang tahun 2018. Karena jumlah saham A yang beredar dipasar ialah 5 milliar lembar maka 1,5 triliun dibagi dengan 5 milliar lembar , sama dengan Rp 300 per saham , karena posisi harga saham A di pasar adalah Rp 3000 maka PER-nya adalah 3000 dibagi 300, sama dengan 10 kali.

Jika harga saham A di pasar naik menjadi 3500 namun EPSnya masih tetap 300 maka PERnya menjadi 3500 / 300 = 11.7 kali.

Sementara saham A turun menjadi 2500, maka PERnya juga turun menjadi 2500 / 300 = 8.3 kali.

Dari contoh ini semakin kecil PER suatu saham maka semakin murah sahamnya.

Biasanya EPS di laporan keuangan perusahaan sudah dicantumkan , jadi kita tidak perlu susah payah lagi menghitungnya , dan kadang – kadang kita melihat di laporan keuangan ada ‘EPS dasar’ dan ‘EPS dilusi’ , lalu kita harus lihat yang mana dari kedua EPS diatas? Lihat lah EPS dilusi karena menggunakan saham yang beredar terbaru.

karena jumlah saham yang beredar emiten bisa saja berubah dari waktu ke waktu (right issue).

Jika laporan keuangan bukanlah laporan tahunan ( kuartal lV ) melaikan kuartal l , ll , lll maka EPSnya harus disetahunkan dulu dengan cara :

1. Kuartal 1 , EPSnya di kalikan 4

2. Kuartal 2 , EPSnya di kalikan 2

3. Kuartal 3 , EPSnya dikalikan 4/3

PERnya sangat cocok untuk kita menganalisa saham saham blue chip alias saham yang mewakili perusahaan perusahaan yang terbesar di BEI, biasanya perusahaan yang besar dan mapan mempunya laba bersih yang stabil.

Lalu bagaimana dengan pernyataan bahwa PER perusahaan termasuk mahal , murah atau wajar?

1. Kalau PER nya diatas 14 kali, maka itu sudah termasuk sangat mahal

2. Kalau PERnya kurang lebih 10kali , maka coba cek terlebih dahulu perusahaannya. Jika fundamental perusahaan tersebut bagus maka anda boleh membelinya

3. Kalau PERnya kurang dari 7 kali, dan sahamnya merupakan saham ‘GCG’ (astra , bank BCA , BBRI , BBNI dan lain – lain), pokoknya beli aja karena sudah termasuk murah.

Lalu bagaimana jika kita menemukan perusahaan seperti unilever yang PERnya lebih 40 kali bahkan lebih lalu gimana?

Itu karena memang unilever adalah perusahaan yang pantas dihargai mahal karena ROE ( return on equity ) yaitu kemampuan perusahaan dalam mencetak laba dengan modal sendiri mencapat 100%, (sangat jarang) bahkan dengan ROE 20% saja di perusahaan BEI selain unilever kita anggap sudah sangat bagus dan besar.

Semua indikator mempunyai kelemahan masing – masing, seperti PER ini tidak cocok untuk digunakan sebagai indikator mengukur perusahaan second liner dan sejenisnya.

Semoga membantu, cheers.