Harga minyak meroket pada Senin (13/1/2025), mencapai level tertinggi dalam empat bulan. Lonjakan ini terjadi karena sanksi terbaru dari Amerika Serikat terhadap minyak Rusia yang diperkirakan memaksa pembeli di India dan China mencari pemasok alternatif.

Dikutip dari Reuters, harga minyak Brent naik US$ 1,25 (1,6%) menjadi US$ 81,01 per barel. Sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) naik US$ 2,25 (2,9%) menjadi US$ 78,82 per barel.

Kenaikan tersebut membawa Brent mencatatkan penutupan tertinggi sejak 26 Agustus 2024 dan WTI tertinggi sejak 12 Agustus 2024. Kedua acuan tetap berada dalam overbought untuk hari kedua berturut-turut.

Selain itu, dengan kenaikan harga Brent dan WTI lebih dari 6% dalam tiga sesi perdagangan terakhir, premi kontrak bulan depan dibandingkan kontrak berjangka berikutnya, yang dikenal sebagai ‘time spreads’ di industri energi, melonjak ke level tertinggi dalam beberapa bulan.

Minat terhadap pasar energi juga meningkat, dengan volume perdagangan berjangka Brent di Intercontinental Exchange mencapai level tertinggi pada 10 Januari sejak rekor Maret 2020. Sementara itu, minat terbuka dan volume perdagangan berjangka WTI di New York Mercantile Exchange mencapai level tertinggi sejak Maret 2022.

Perusahaan penyulingan minyak di China dan India sedang mencari pasokan bahan bakar alternatif karena mereka menyesuaikan diri dengan sanksi baru AS terhadap produsen dan tanker Rusia.

Hal itu bertujuan untuk mengurangi pendapatan dari eksportir minyak terbesar kedua di dunia itu.

Ada kekhawatiran nyata di pasar tentang gangguan pasokan. Skenario terburuk untuk minyak Rusia tampaknya menjadi skenario yang realistis,” kata Tamas Varga, analis di PVM.

Namun, ia mencatat ketidakpastian tentang dampak lebih lanjut ketika Donald Trump dilantik minggu depan.

Goldman Sachs memperkirakan, kapal yang menjadi target sanksi baru mengangkut 1,7 juta barel per hari (bph) minyak pada 2024, atau setara dengan 25% dari total ekspor Rusia. Bank tersebut semakin optimistis bahwa proyeksi Brent dalam kisaran US$ 70-85 akan condong ke arah kenaikan.

Tidak ada yang akan berurusan dengan kapal-kapal yang masuk daftar sanksi atau mengambil posisi baru,” kata Igho Sanomi, pendiri perusahaan perdagangan minyak dan gas Taleveras Petroleum.

Setidaknya terdapat 65 kapal tanker minyak telah berlabuh di berbagai lokasi, termasuk di lepas pantai China dan Rusia, sejak AS mengumumkan paket sanksi baru.

Banyak kapal tersebut sebelumnya digunakan untuk mengirimkan minyak ke India dan China setelah sanksi Barat sebelumnya dan batas harga yang diterapkan oleh negara-negara G7 pada 2022.

Hal itu yang membuat perdagangan minyak Rusia beralih dari Eropa ke Asia. Beberapa kapal yang juga mengangkut minyak dari Iran yang berada di bawah sanksi serupa. Enam negara Uni Eropa menyerukan kepada Komisi Eropa untuk menurunkan batas harga minyak Rusia yang diberlakukan oleh negara-negara G7.

Dengan alasan bahwa hal itu akan mengurangi pendapatan Moskow untuk melanjutkan perang tanpa menyebabkan guncangan pasar.

Meski melonjak tajam, harga minyak dihantui sentimen negatif, yaitu mediator memberikan Israel dan Hamas rancangan akhir kesepakatan untuk mengakhiri perang di Gaza setelah terobosan tengah malam dalam pembicaraan yang dihadiri oleh utusan Joe Biden dan Donald Trump.

Indeks dolar naik ke level tertinggi dalam 26 bulan terhadap sekeranjang mata uang lainnya setelah data pekan lalu menunjukkan pertumbuhan lapangan kerja AS yang tidak terduga meningkat pada Desember, dan tingkat pengangguran turun menjadi 4,1%, yang dapat menyebabkan inflasi lebih tinggi.

Hal ini mendorong traders untuk mengurangi taruhan pada berapa banyak pemangkasan suku bunga yang akan dilakukan The Fed tahun ini.

Kini, pasar tidak sepenuhnya memperhitungkan satu pun pemangkasan suku bunga dari The Fed pada 2025, turun dari sekitar dua pemangkasan seperempat poin yang dihitung pada awal tahun. Mata uang AS yang lebih kuat dapat mengurangi permintaan energi dengan membuat komoditas berharga dolar seperti minyak lebih mahal bagi pembeli dengan mata uang lain.

Suku bunga yang lebih tinggi, yang digunakan untuk melawan inflasi yang meningkat, juga dapat mengurangi permintaan energi dengan meningkatkan biaya pinjaman dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Sumber : INVESTOR.ID