Harga minyak melonjak hampir 2% pada Senin (21/10/2024), memulihkan sebagian kerugian lebih dari 7% yang terjadi pekan lalu. Memanasnya ketegangan di Timur Tengah, serta kekhawatiran tentang kemungkinan serangan balasan Israel terhadap Iran, memicu kekhawatiran pasar terkait pasokan minyak dari wilayah tersebut.

Dikutip dari Reuters, harga minyak mentah Brent melesat US$ 1,23 (1,68%) menjadi US$ 74,29 per barel. Sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat (AS) melejit US$ 1,34 (1,94%) menjadi US$ 70,56 per barel.

Pekan lalu, Brent turun lebih dari 7%, sedangkan WTI merosot sekitar 8%. Ini merupakan penurunan mingguan terbesar bagi kedua kontrak sejak 2 September, akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi di China dan berkurangnya premi risiko di Timur Tengah. Pada Senin, pasukan Israel mengepung rumah sakit dan tempat penampungan pengungsi di Jalur Gaza utara, menurut petugas medis, saat operasi terhadap militan Palestina semakin intensif. Israel juga melancarkan serangan yang menargetkan situs-situs keuangan milik Hizbullah di Lebanon.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dijadwalkan melakukan upaya diplomasi untuk mendorong gencatan senjata saat ia bertolak ke Timur Tengah pada Senin, menurut Departemen Luar Negeri AS. Ia diharapkan memulai negosiasi untuk mengakhiri perang Gaza serta meredakan konflik yang meluas ke Lebanon.

Utusan AS Amos Hochstein akan bertemu dengan pejabat Lebanon di Beirut pada Senin untuk membahas kondisi gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah, menurut dua sumber yang dikutip Reuters.

“Harga minyak mendapat dorongan pagi ini seiring meningkatnya pertempuran di Timur Tengah. Israel juga mempersiapkan serangan balasan yang kemungkinan akan mengarah ke Iran,” kata Dennis Kissler, wakil presiden senior perdagangan di BOK Financial.

Kissler menambahkan, kejatuhan harga minyak dalam dua pekan terakhir sebagian besar disebabkan oleh aksi jual besar-besaran, karena pasar minyak terus mencari keseimbangan antara permintaan yang melambat dan ketidakstabilan di Timur Tengah. 

Ekonomi China

Pada Senin, China memangkas suku bunga acuan pinjaman seperti yang diperkirakan, sebagai bagian dari paket stimulus yang lebih luas untuk menghidupkan kembali perekonomian. Data pada Jumat menunjukkan ekonomi China tumbuh dengan laju paling lambat sejak awal 2023 di kuartal ketiga, meningkatkan kekhawatiran tentang permintaan minyak.

Pertumbuhan permintaan minyak China diperkirakan akan tetap lemah hingga 2025, meskipun ada langkah-langkah stimulus terbaru dari Beijing, menurut kepala Badan Energi Internasional (IEA) pada Senin. Namun, CEO Saudi Aramco di konferensi energi di Singapura mengatakan bahwa ia masih ‘cukup optimistis’ tentang permintaan minyak China mengingat dukungan kebijakan yang diperkuat untuk mendorong pertumbuhan serta meningkatnya permintaan bahan bakar jet dan likuid to chemicals.

Sementara itu, Presiden Bank Federal Reserve Minneapolis Neel Kashkari pada Senin kembali menyatakan bahwa ia mengharapkan adanya pemangkasan suku bunga yang ‘moderat’ dalam beberapa kuartal mendatang, meskipun pelemahan tajam di pasar tenaga kerja dapat mendorong pemotongan suku bunga yang lebih cepat. Suku bunga yang lebih rendah mengurangi biaya pinjaman, yang dapat mendorong aktivitas ekonomi dan meningkatkan permintaan minyak.

Badan Informasi Energi AS (EIA) pekan lalu melaporkan bahwa produksi minyak AS naik 100 ribu barel per hari, mencapai rekor 13,5 juta barel per hari pada pekan yang berakhir 11 Oktober. Stok minyak mentah AS diperkirakan naik sekitar 100 ribu barel pekan lalu, sementara persediaan distilat dan bensin diperkirakan menurun, menurut jajak pendapat awal Reuters pada Senin.

Sumber : INVESTOR.ID