JAKARTA — Harga minyak dunia melonjak sekitar 2% pada Selasa (3/6/2025), menyentuh level tertinggi dalam dua pekan terakhir. Kenaikan ini dipicu oleh ketegangan geopolitik yang terus membara, khususnya antara Rusia dan Ukraina, serta Amerika Serikat (AS) dan Iran, yang berpotensi memperpanjang sanksi terhadap kedua negara penghasil minyak utama itu.

Dikutip dari Reuters, harga minyak Brent naik US$ 1 (1,5%) menjadi US$ 65,63 per barel. Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) ditutup naik 89 sen (1,4%) ke level US$ 63,41 per barel.

Analis dari Ritterbusch and Associates menyebutkan, meningkatnya premi risiko berasal dari kecilnya kemungkinan tercapainya gencatan senjata Rusia-Ukraina maupun kesepakatan nuklir antara AS dan Iran dalam waktu dekat. “Prospek perdamaian terlihat tertunda selama beberapa minggu, bahkan bisa sampai berbulan-bulan,” tulis mereka dalam catatan riset.

Rusia, anggota OPEC+ dan produsen minyak mentah terbesar kedua dunia setelah AS pada 2024, menyebut proses perdamaian dengan Ukraina sangat kompleks dan belum ada keputusan besar yang bisa diharapkan dalam waktu dekat.

Di sisi lain, Iran, produsen minyak terbesar ketiga di OPEC setelah Arab Saudi dan Irak, dikabarkan menolak proposal kesepakatan nuklir dari AS. Hal ini berarti sanksi terhadap ekspor minyak Iran kemungkinan besar akan tetap diberlakukan.

Dari Kanada, kebakaran hutan di Alberta telah mengganggu produksi minyak pasir sekitar 344.000 barel per hari, setara dengan 7% dari total produksi minyak mentah negara itu, menurut perhitungan Reuters.

Inflasi dan Permintaan Minyak

Di Eropa, inflasi zona euro turun di bawah target Bank Sentral Eropa (ECB), membuka peluang untuk pelonggaran kebijakan moneter lebih lanjut. Suku bunga rendah umumnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan permintaan minyak karena mendorong konsumsi.

Namun, di AS, Presiden The Fed Chicago, Austan Goolsbee, memperingatkan bahwa kenaikan tarif impor bisa cepat memicu inflasi, walaupun dampaknya terhadap perlambatan ekonomi baru akan terasa beberapa waktu ke depan.

Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global, terutama karena dampak negatif dari perang dagang yang dilancarkan Presiden AS Donald Trump. OECD kini memperkirakan ekonomi AS hanya tumbuh 1,6% pada 2025, turun dari proyeksi sebelumnya sebesar 2,2%.

Sementara itu, pelaku pasar tengah menantikan laporan mingguan cadangan minyak AS. Analis memperkirakan terjadi penarikan stok sekitar 1 juta barel selama sepekan terakhir, menandai penurunan kedua secara berturut-turut.

Laporan resmi dari American Petroleum Institute (API) dan Energy Information Administration (EIA) akan dirilis masing-masing pada Selasa dan Rabu waktu setempat.

Sumber : investor.ID