
Harga minyak dunia menguat setelah Israel menyerang pimpinan Hamas di Doha, Qatar, meski kenaikan terbatas karena AS menjamin tidak ada eskalasi lanjutan
Melansir Reuters pada Rabu (10/9/2025), harga minyak berjangka jenis Brent naik 37 sen atau 0,6% menjadi US$66,39 per barel. Sementara itu, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) AS juga menguat 37 sen atau 0,6% ke posisi US$62,63 per barel.
Kedua acuan minyak sempat melonjak hampir 2% sesaat setelah serangan Israel di Qatar, namun sebagian besar kenaikan itu terkoreksi setelah Amerika Serikat memberi jaminan kepada Doha bahwa serangan serupa tidak akan terjadi lagi di wilayahnya.
“Baik AS maupun Qatar menegaskan tidak menginginkan eskalasi lebih lanjut, sementara reaksi yang tenang dari anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) lainnya memperkuat pandangan bahwa risiko konflik kawasan yang lebih luas masih terkendali,” ujar Jorge Leon, Kepala Analisis Geopolitik Rystad Energy.
Dia melanjutkan, untuk saat ini, premi risiko geopolitik justru mereda, bukan meningkat.
Selain jaminan Gedung Putih kepada Qatar, harga minyak juga kehilangan sebagian penguatan karena serangan tersebut tidak menimbulkan gangguan pasokan langsung, kata analis UBS Giovanni Staunovo.
Sebelum insiden di Qatar, harga minyak memang sudah bergerak menguat, didorong oleh kenaikan produksi OPEC+ yang lebih kecil dari perkiraan, ekspektasi bahwa China akan terus menambah stok minyak, serta kekhawatiran potensi sanksi baru terhadap Rusia.
Namun, penguatan minyak tertahan setelah Badan Informasi Energi AS (EIA) menyatakan harga global berpotensi berada di bawah tekanan signifikan dalam beberapa bulan ke depan seiring meningkatnya persediaan.
Pasar fisik minyak juga menunjukkan tanda pelemahan dengan spread prompt melemah tajam di kawasan Atlantik.
“Pasar fisik yang melemah biasanya menjadi indikator lemahnya permintaan. Fakta bahwa pasar tidak bereaksi kuat terhadap eskalasi ini justru menunjukkan betapa lemahnya pasar saat ini,” kata analis StoneX Alex Hodes.
Selain faktor geopolitik, pasar juga mencermati ekspektasi bahwa Federal Reserve, yang akan menggelar pertemuan pekan depan, berpeluang memangkas suku bunga acuan AS. Suku bunga yang lebih rendah dapat menekan biaya pinjaman konsumen, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan permintaan minyak.
Data ketenagakerjaan AS untuk periode 12 bulan hingga Maret juga direvisi turun lebih tajam dari perkiraan pada Selasa, sehingga memicu taruhan pelaku pasar bahwa The Fed akan memangkas suku bunga jangka pendek pekan depan dan kemungkinan melanjutkan pelonggaran tahun ini guna menopang pasar tenaga kerja.
Sumber: market.bisnis.com