
Harga minyak mentah dunia melonjak sekitar 3% dan menembus level tertinggi dalam tujuh pekan pada perdagangan Rabu (24/9/2025). Kenaikan ini dipicu oleh penurunan tak terduga persediaan minyak mentah Amerika Serikat (AS).
Dikutip dari Reuters, harga minyak juga ditopang oleh meningkatnya kekhawatiran terkait pasokan global akibat gangguan ekspor di Irak, Venezuela, dan Rusia.
Harga minyak Brent menguat US$ 1,68 (2,5%) menjadi US$ 69,31 per barel. Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) AS naik US$ 1,58 (2,5%) menjadi US$ 64,99 per barel. Posisi tersebut menjadi penutupan tertinggi bagi Brent sejak 1 Agustus, dan untuk WTI sejak 2 September 2025.
Badan Informasi Energi AS (EIA) melaporkan persediaan minyak mentah turun 607.000 barel pada pekan lalu. Padahal, survei Reuters sebelumnya memperkirakan adanya kenaikan sebesar 235.000 barel. Meski lebih kecil dibandingkan penurunan 3,8 juta barel yang dilaporkan American Petroleum Institute (API), data ini tetap dinilai positif.
“Laporan ini cukup mendukung, mengingat terjadi penurunan di hampir semua komponen, mulai dari minyak mentah, distilat, hingga bensin,” ujar mitra Again Capital John Kilduff.
Harga minyak juga mendapat dukungan dari ketegangan geopolitik. Militer Ukraina dilaporkan menyerang dua stasiun pompa minyak di wilayah Volgograd, Rusia, pada Rabu dini hari. Hal ini memicu keadaan darurat di Novorossiisk, kota pelabuhan utama Rusia di Laut Hitam yang menjadi pusat ekspor minyak dan gandum.
“Fokus pasar kembali tertuju ke Eropa Timur dengan kemungkinan adanya sanksi baru terhadap Rusia,” kata analis PVM Oil Associates Tamas Varga.
Serangan drone Ukraina terhadap infrastruktur energi Rusia membuat aktivitas kilang menurun, sehingga pasokan beberapa jenis bahan bakar di Rusia menipis. Di sisi fiskal, Kementerian Keuangan Rusia bahkan mengusulkan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 20% menjadi 22% mulai 2026 untuk membiayai perang yang sudah memasuki tahun kelima.
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump menyatakan yakin Ukraina dapat merebut kembali seluruh wilayah yang diduduki Rusia. Washington juga mendorong Uni Eropa mempercepat penghentian impor minyak dan gas Rusia.
Di dalam negeri, aktivitas produksi minyak dan gas di negara bagian utama penghasil energi seperti Texas, Louisiana, dan New Mexico dilaporkan menurun tipis pada kuartal III-2025, menurut survei The Dallas Fed.
Dari Iran, Menteri Perminyakan Mohsen Paknejad menegaskan tidak ada pembatasan baru terhadap penjualan minyak ke China, meski negosiasi dengan Eropa soal pencegahan kembalinya sanksi PBB masih berlangsung. Presiden Iran Masoud Pezeshkian juga menegaskan negaranya tidak berniat mengembangkan senjata nuklir.
Di Venezuela, Chevron harus memangkas ekspor minyak akibat masalah izin dari pemerintah AS. Sementara itu, kabar positif datang dari Irak setelah delapan perusahaan minyak internasional yang beroperasi di Kurdistan mencapai kesepakatan awal dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah Kurdistan untuk melanjutkan ekspor.
Meski begitu, pasar menilai pasokan minyak global tetap ketat. Pasalnya, Rusia, Iran, dan Irak merupakan produsen utama dalam kelompok OPEC+, sehingga setiap gangguan pasokan berpotensi menjaga harga minyak tetap tinggi.
Sumber: investor.id