NEW YORK – Harga minyak dunia meroket sekitar 3% pada Kamis (8/5/2025). Hal itu dipicu optimisme pasar terhadap pembicaraan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, dua negara konsumen minyak terbesar di dunia.

Dikutip dari Reuters, harga minyak Brent naik US$ 1,72 (2,8%) menjadi US$ 62,84 per barel. Sementara harga minyak West Texas Intermediate (WTI) AS melonjak US$ 1,84 (3,2%) ke posisi US$ 59,91 per barel.

Analis SEB Ole Hvalbye mengatakan, harapan tercapainya terobosan dalam perundingan dagang AS-China memberi dukungan kuat terhadap pasar minyak. Menteri Keuangan AS Scott Bessent dijadwalkan bertemu pejabat ekonomi tertinggi China pada Sabtu (10/5/2025) di Swiss untuk membahas sengketa dagang yang selama ini mengganggu perekonomian global.

“Pertemuan ini memicu optimisme pasar. Namun, volatilitas harga minyak akibat ketegangan tarif masih belum berakhir,” ujar Hvalbye.

Analis energi AS dari Ritterbusch and Associates Jim Ritterbusch menambahkan, pasar kini menghadapi ‘tariff premium’ yang membuat harga minyak bergerak naik turun mengikuti perkembangan terbaru dari kebijakan Presiden Donald Trump.

Selain pembicaraan dagang AS-China, pasar juga merespons pengumuman kesepakatan dagang antara Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer. Dalam kesepakatan itu, tarif 10% atas barang impor Inggris tetap berlaku, sementara Inggris sepakat menurunkan tarifnya dari 5,1% menjadi 1,8% dan membuka akses lebih luas bagi produk AS.

Dari sisi suplai, OPEC+ berencana meningkatkan produksi minyaknya, yang berpotensi menekan harga. Namun, survei Reuters menunjukkan produksi OPEC justru sedikit turun pada April, terutama akibat penurunan suplai Venezuela, serta penurunan lebih kecil di Irak dan Libya.

Proyeksi Harga Minyak

Analis Citi Research memangkas proyeksi harga Brent dalam tiga bulan ke depan menjadi US$ 55 per barel dari sebelumnya US$ 60, meski tetap mempertahankan proyeksi jangka panjang di level US$ 60 per barel untuk tahun ini.

Citi juga menyebutkan, jika tercapai kesepakatan nuklir antara AS dan Iran, harga Brent berpotensi turun ke sekitar US$ 50 per barel akibat peningkatan suplai global. Namun tanpa kesepakatan, harga bisa melonjak melewati US$ 70 per barel.

Sementara itu, dua kilang kecil China dilaporkan mengalami kesulitan menerima minyak mentah setelah dikenai sanksi AS karena membeli minyak Iran. Mereka terpaksa menjual produknya dengan nama lain, menurut sumber yang mengetahui langsung situasi tersebut. 

Hal itu menunjukkan dampak nyata dari tekanan ekonomi AS terhadap Iran dan pembeli minyaknya.

Sumber : investor.id
Editor: Indah Handayani